Minggu, 29 Maret 2009

Puisi dari Bersama Angin hingga Sebuah Pengorbanan

Puisi-puisi  Ustadji Pantja Wibiarsa

 

BERSAMA  ANGIN

 

sekali waktu terimalah aku setulus hatimu

aku bersama angin yang mau mampir di beranda rumahmu

baru saja berpeluk dengan hujan di taman

seusai mengurai makna tatapan mata pengembara

mengadukan kisah hidupnya kepada bunga-bunga

aku tak mau jadi kupu-kupu

yang sukanya mengisap madu

dengan keserakahan dan tanpa malu

aku ingin jadi lampu dan bangku-bangku

bisa berbagi suka dan duka denganmu

akan kugunakan cahayanya

untuk menciumi kening dan pipi segala derita

dan kesediaanku yang tulus turut menyangga kepenatan

meski dipantati dan dipunggungi

adalah bagian sorga yang kucari

dalam perjalanan yang tak henti-henti

tadi ia titip pesan untukmu

jalan mana menuju taman di penghujung usia

yang kaupilih untuk mengajakku bersamanya

dan memberi makna pada waktu yang tersisa

 

Kutoarjo-Purworejo, 2007

 

 

EPISODE  BAGIMU  1

 

engkau yang bersembunyi di balik puisi rembulan

kenapa senantiasa menguncupkan mawar kerinduan

oasismu pun menyimpan desir teka-teki dan degup kenangan

pada pucuk kesunyian malam berkelebat tanya

riuh apa yang kautanam di ladang-ladang kusam

istirah pun membentur lorong panjang berdebu

sementara denting piano dan gesek biola diari lalu menjauh

tertepis misteri rasa terbalut panas dingin kabut

padahal ia telah setia mengusap ubun-ubun dalam zikir nur

inikah episode yang kaukirim untuk menghias hari-hari

yang terhukum oleh jerat gelinjang keinginan zamzam khasanahmu

jiwa raga ini apa di bias sudut mata tajammu

berjuta nama hanya dunia pun barangkali tak berarti bagi alur ceritamu

tentang istana embun penuh indah dawai kecapi

irama kehidupan yang pasti telah lekat di setiap relungmu

 

Kutoarjo-Purworejo, 2007

 

EPISODE BAGIMU  2

 

entah sejauh mana telah masuk dalam kuncup puisi abadimu

kekasih musim yang senantiasa tumbuh sebagai irama lembah syahdu

ode kenangan gerimis  yang begitu melekat sepanjang sungai usia

pahatan di gapura siang telah mereliefpanjangkan perjumpaan sesaat

rasanya raga telah tersungkur dalam prolog opera fatamorgana

inci demi inci wangi azanmu memabukkan dalam kerinduan sajadah

sungguh perjalanan terpilin pusaran waktu menjadi pengembara asing

terdera dahaga arasy menggalau kemarau biografi

ifah fajar tenggara pun menipis melayang di balik tebing hal ihwal

yang sewaktu bocah didongengwangikan ibu seusai tembang surau

kini mengakrabi air mata  mengalir dari teduh telaga tawwab

menjauhkan nurani rimba munkar  penuh onak muslihat

 

Kutoarjo-Purworejo, 2007

 

EPISODE CINTA YANG KEMBALI

 

eksotis senja menggamit dawai siter lembayung

dalam roncean  kelopak labirin pukau memijilkan

ornamen kubah menengadah kabir langit bercahaya kereta cinta

merangkul perpaduan kemersik daun murbei gelitik bisikmu

dengan merdu bocah-bocah mengaji

renyah memeluk cuaca kerasan bersanding di beranda ini

ikan-ikan harap di kolam kelamku pun

sekarang kembali mengibas-ibaskan sirip dan ekornya

tarian romansanya kuharap kauartistikkan dengan cahaya firdausi tamanmu

indah tasbih tanjung tersunting hatimu kuimajikan dalam lelakon hidup

yang memerciksegarkan butir-butir asmaradana ar-rauf

anjangsanakanlah waranggana pringgitanmu di pendapa sunyiku

nadi pakeliran penantianku senantiasa tergelar dan

terbuka zikir-zikir kesetiaanku

ikhlas kangenku  bagimu

 

Kutoarjo-Purworejo, 2007

 

 

EPISODE  KEMATIAN

 

kaukabarkan kepada siapa lagi, berita duka yang terbungkus sobekan kafan

pagi ini, bila kota hingga desa telah lama mati dari hati nurani bulan

lambaian tangan pun cuma kelebat sayap merpati yang akhirnya meratap

nasib malangnya di perempatan kuburan tua

api dan asap menggelap di mana-mana, menyerobot tempat-tempat suci

yang biasa dikunjungi anak-anak harapan tanah kelahiran

mereka dibekap mulutnya, disumpal gombal tumbal bagi pengekalan takhta

disodomi serupa kutuk sodom gomora, dikebiri kelamin peradabannya

dicincang keyakinan dan kepercayaannya terhadap sungai keluhuran

 

kauletakkan di atas pusara siapa lagi, rebab yang ritmenya selalu mengalun

dalam fajar di tenggara dan senja di barat laut, ketika burung malam pun

menggoreskan suara pedangnya dari timur laut ke barat daya memenggal

tembang-tembangmu. memang aku telah tiba dipusara, boleh sebenarnya

memintamu memainkan kidung untuk membangunkan roh kekuatanku

serupa keris yang telah menyatu dalam warangkanya, indah tapi perkasa

kedamaian hati sekaligus kewibawaan kuasa

bukan keris terhunus, kuat tapi jumawa tak segan melenyapkan nyawa

namun aku cuma sejarah tua, namaku telah disilang dari laju pesatnya zaman

 

kaukuburkan di mana lagi,  jasad kemanusiaanmu yang berabad-abad

telah begitu akrab dengan perjuangan demi perjuangan di belantara kurusetra

sudah tidak ada tempat di sini, tinggal dua tapak tempatku berdiri bergetar

jika kuangkat satu kakiku kuberikan tempatnya untukmu

aku akan roboh, padahal rohku masih ingin bangkit demi tanah lahirku

 

Kutoarjo, Purworejo, 2007

 

EPISODE  PERJALANAN BAGIMU

 

suatu saat nanti kita akan kembali bersama

mengendapkan kegaduhan arah tujuan

karena pemahaman atas genggaman kodrat

dalam setiap jentik cerita hidup pun pasti ditemukan

orgasme bebukitan sepi dan gersang

sementara perhitungan usia  terus saja berkurang dalam setiap

rerasan pencarian sekian episode lain yang hilang bertahun-tahun

ketika irisan belati menggores sisi kerinduan

sadarkah kita telah dituntun dalam pengembaraan gua-gua

terelief di sisi-sisi dindingnya gambaran wilayah kita berada

ikhtiar kita sendirilah menyorongkan cerita rembulan spasi

kita punguti kembali wangi kemangi di jeda makan malam kita

atau menorehkan kembali diksi perjalanan bersama

nanti kita coba menemukan gurat-gurat wajah kita

tanpa tanya dan curiga

ibarat jemari yang senantiasa bertaut dalam afinitas setia

 

Kutoarjo-Purworejo, 2007

 

 

KITA  KEMBALI

 

kusematkan kembali

di dada bumi yang rentan dan tua

bahasa embun sebagai tanda

kita akan membaca dengan seksama

kemudian menuliskannya kembali

dalam bahasa cinta

samudra yang akan memeluk cakrawala

di setiap detak kehidupan kita

biduk yang dilayarkan

membawa segala derita deraan

akan dibilas oleh ibu angkasa dengan doa

ubun-ubun yang masih berdenyut

kepadanya akan ditiupkan

wangi zat meruap dari kedamaian rahimnya

dan kita akan terlahir kembali sebagai nelayan

mencari ikan-ikan dengan jala

bukan demi nafsu kepuasan dunia

melainkan kita jadikan pengantin

di pelaminan samudra berpangku bumi

Kutoarjo-Purworejo, 2007

 

KUNANG-KUNANG RUMAH KENANGAN

 

tak ada lagi waktu berlama-lama menjemput

beribu kunang-kunang menghias rumah kenangan

jika tak lagu sunyi pun terperangkap lumut di kolam

ikan kaulepas kemarin enggan mengibas ekor dan siripnya

mungkin membenci batu-batu yang membekukan harapan

 

membuka pagar menginjakkan kakimu di halaman

kemerlip menyambut bak bintang-bintang genit

lincah dara manis berlari kecil menyambut kekasih

sandarkan wajah pasimu di kebidangranuman dadanya

kaudengar detak jantungnya berbiola di orkestra lembah

keluasan tempat kita tanam ketegangan cinta dan egoisme

tunas setia senantiasa diancam khianat musim

gelembung harapan diledakkan keputusasaan

 

tak ada lagi waktu menunda, ketuk dan salam

mengusir bau busuk daun berguguran bertahun

sentuhan kening syukur di ambang pintu

membakar laknat ruh gelap

duduklah bersamaku menanti

kunang-kunang bertegur sapa dengan rembulan

 

Kutoarjo-Purworejo, 2007

 

 

SEBUAH  NAMA

 

sebut nama di penghabisan malam

satu saja

tapi itu adalah bunda

yang akan mengandung dan melahirkan

bayi-bayi mungil menggemaskan

ketika kaucubit pipi lembutnya

bola-bola matanya akan bercahaya

memancarkan lanskap dunia tanpa kekerasan

tawa renyah yang menyembul dari celah bibirnya

bernyanyi tentang tangan-tangan cinta bergandengan

ketika kau bangun di pagi hari

cahaya matahari mengusap tubuhmu

kaudapati dirimu juga orang-orang

berjalan dan berpapasan

saling menyapa ramah dengan nama sama

menyebut nama cuma satu

tapi itu adalah keluarga dengan wajah cahaya

menembus dimensi ruang dan waktu

Kutoarjo-Purworejo, 2007

 


SEBUAH  PENGORBANAN

 

pohon yang kautanam di tanah dahagaku

ulat terus mengunyahi daunnya yang akhirnya berharap

hidupnya berguna bagi kepentingan lainnya

apa yang lebih mulia daripada punah

demi kelanjutan hidup yang mungkin lebih berharga

seperti awan dan hujan terus bergantian

memberi warna pada kanvas kehidupan

remah-remah daun jatuh di atasnya

membuat komposisi dan ekspresi mendalam makna

dan aku terus dahaga mencari air hujan tersisa

di keranggasan yang masih kaupertahankan

sedang kepada lukisan itu aku hanya bisa

menambahkan warna maya

karena aku cemas mengusik keindahannya

biarlah kujaga pohonmu hingga usiaku habis

jika memang mesti kautorehkan juga mimpi

di batang-batang nyata berdamai

dengan ulat, kepompong, dan kupu-kupu

yang kuminta hanyalah tulis di bawah lukisan itu

akar-akarku menancap kuat-kuat di tanahku

membumi

 

Kutoarjo-Purworejo, 2007

 

 

 

Sabtu, 14 Maret 2009

Cerpen Ustadji Pantja Wibiarsa

PEREMPUAN DI RUMAH KABUT

 

Perempuan itu selalu saja merasa setiap hari, senja datang terlalu cepat. Angin yang jekut mengabarkan tanah berbukit-bukit meremukkan perjalanan angin, hingga kebekuanlah yang sampai sebagai belaian di urai rambut panjangnya. Kursi-kursi santai dan mejanya, pot-pot dan tanaman bunganya, serta relief dinding Rama-Sinta di beranda depan, akrab dengan basah dingin. Lampu-lampu menyala, tetapi selalu saja bercerita keredupan. Lalu selalu saja desah sebagai luapan sesuatu yang menindih jiwa begitu berat.

Sesungguhnya, ia tak harus merasa begitu, karena telah diberi kebebasan. Setidak-tidaknya dia telah mencoba bebas melukis angan-angan. Suatu wilayah yang sebenarnya entah, tetapi kuasa menjadikannya apa pun, siapa pun, di mana pun, bagaimana pun. Suatu saat ia menjadi sungai, airnya mengalir. Mengalir terus, hingga berpeluk dengan samudra. Suatu saat yang lain, ia menjadi penari. Meliuk-liukkan tubuh diiringi musik slow juga musik hingar bingar. Di dalam kamar, di panggung, di taman, di jalan-jalan, di kantor-kantor. Jika perlu dengan tubuh polos menggiurkan. Pada suatu malam, ia  menjadi alam yang dijelajahi oleh petualang, juga menjadi harimau ganas menerkam-nerkam. Suatu hari ia menjadi alam semesta seisinya. Lalu menjadi sorga, juga neraka. Lantas menjadi setan, malaikat, bahkan Tuhan sekalian.

"Kenapa mesti kaularang aku untuk menjadi segala yang kuinginkan? Kau sendiri dengan seenaknya menjadi api yang menghangusarangkan kehidupan, lalu menjadi gempa bumi yang meluluhlantakkan kehidupan, lalu menjadi  banjir bandang yang menenggelamkan kehidupan!"   Ia menyalak keras. Dulu, sebelum kunci ada padanya.

"Kau istriku!"

"Aku gendakanmu!"

"Tapi kau sendiri telah berikrar, kau adalah bagian dari hidupku dan aku adalah bagian dari hidupmu!"

"Bukankah kau sendiri yang telah mengharcurleburkan ikrar itu? Kauperah aku sebagai sapi perahmu. Kautunggangi aku sebagai kuda pacuan di arena judimu. Kaubidikkan aku sebagai anak panah menghujam jantung buruanmu. Kauumpankan aku sebagai daging merah pada rakus harimaumu. Kautanam aku sebagai biji di ladang hompimpahmu."

Lalu segalanya berubah sejak itu. Ia memasuki perjalanan hidup antara belenggu dan kebebasan. Lelaki yang telah sekian tahun membawanya dalam berbagai musim itu telah menyerahkan kunci rumah kepadanya.

"Terserah kau sekarang. Kunci telah ada di tanganmu. Sebagaimana rumah yang lain, rumah kita ini dari musim ke musim tentu ada bagian-bagian yang lekang atau lapuk. Setiap berganti musim perlu ada perbaikan-perbaikan. Bahkan perlu ada penggantian dan penambahan di sana-sini. Kunci di tanganmu untuk membuka atau mengancing pintu rumah. Pintu bukan menentukan ke mana rumah itu menghadap. Pintu bukan sekedar jalan masuk atau keluar. Pintu adalah juga gerbang menuju hakikat, tidak bergantung pada masuk atau keluar."

*

Perempuan itu selalu saja merasa setiap hari, senja datang terlalu cepat. Beranda depan mendengungkan kidung kabut yang bergulung-gulung merayap dari punggung-punggung bukit.  Desahnya membentur pintu ketika ia memutuskan akan masuk ke dalam rumah. Dari duduk di beranda depan ke duduk di ruang tamu. Tapi selalu saja ada gemuruh gelisah menyerbu. Senja tentu merayap ke malam. Kunci ada di tangannya. Ia akan masuk, membiarkan pintu tetap terbuka, memberikan kebebasan aroma malam mencipta pagelaran di dalam rumah. Ataukah menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat, menolak kabut malam bertingkah di dalam rumah, karena rumah masih memerlukan perbaikan, penggantian, bahkan penambahan di sana-sini?

Aroma malam yang berkabut lahir dari penderitaan karena pemaksaan dan penindasan. Aroma malam berkabut yang lama-kelamaan mendesak-desakkan dendam dan pemberontakan. Sesungguhnya, ia sangat bisa menerima sebab-akibat kelahiran dan desakan itu. Siapa pun akan menderita karena terus-menerus kehilangan hak-haknya. Dirampas hak-haknya untuk dapat mengenyam kehidupan layak. Keluhuran manusia sebagai makhluk sosial bagai tiang lapuk dan rapuh manakala berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pribadi. Manakala sang pencipta penderitaan itu semakin bersekutu dengan iblis, sedangkan si korban tak lagi setegar batu karang di geram badai lautan, akibatnya adalah magma yang siap menyembur dahsyat dari perut bumi.

"Jangan kaututup pintu itu! Jangan kaukunci! Biarkan rumahmu terbuka menerima kehadiranku," ucap pemuda dari masa lalunya yang bergegas melangkah naik ke beranda rumah mewahnya. Sekejap kemudian, kabut sergap-menyergap di ruang tamu hingga di ranjang kamar biru. Tak jekut, tapi berpagut dalam bara. Membakar. Lalu reda.

"Untuk kesekian kalinya aku ingin menjemputmu. Tinggalkan dia!"

"Aku masih istrinya."

"Kau gendakannya."

"Masih ada sisi yang luhur dalam dirinya, meskipun dia telah iblis."

"Akan sangat luhur jika kau bergabung dengan kami melawan mereka. Dulu kau bagian dari kami. Sekarang pun kami masih menempatkanmu bagian dari kami. Kau lahir di tanah perbukitan ini. Menghirup udara perbukitan ini. Minum air perbukitan ini. Makan hasil perbukitan ini. Ingatlah masa kecil yang begitu indah saat menelusuri lekuk liku perbukitan ini. Ingatlah masa remaja yang dibalur rasa cita dan cinta di perbukitan ini."

Perempuan itu melayang-layang terbuai nyanyian nostalgia yang indah meluncur dari mulut dan nurani sang pemuda.

"Kami sangat bahagia dan sangat menaruh harapan yang besar saat kau memutuskan untuk kembali ke sini setelah menamatkan pendidikan tinggimu di kota. Cita-citamu luhur waktu itu, membangun tanah lahirmu, membawa kehidupan para petani di sini ke taraf kehidupan yang lebih baik. Baru beberapa langkah kaulakukan bersama kami, kau telah dirampas paksa dari kami oleh iblis itu. Sayangnya, kau tak sadar waktu itu bahwa kau akan dimanfaatkan olehnya dan kelompok orang asingnya untuk mengeruk kekayaan perbukitan ini."

"Cukup. Tak usah kaulanjutkan. Aku sudah sangat tahu. Sekarang pulanglah. Sebentar lagi mungkin dia datang."

"Kau menantinya?" 

"Dia masih suamiku."

"Aku mampu menjadi suamimu."

"Pulanglah."

Kembali perempuan itu sendiri di ruang tamu, lalu di ranjangnya, setelah mengunci semua pintu. Benarkah telah menguncinya? Semuanya? Berarti rumah telah tertutup bagi lelaki yang mungkin sebentar lagi datang? Ia bimbang. Ia merasa sudah selayaknya ia tutup rapat-rapat seluruh pintu bagi lelaki itu. Lelaki yang dengan kekuasaan dan kekayaannya begitu mudah membeli seluruh lahan di perbukitan, bahkan membeli seluruh ketakberdayaan dan kebodohan penghuni perbukitan, lalu menjualnya kembali kepada pihak asing. Lelaki yang sebenarnya dulu ia letakkan di pundaknya harapan untuk mewujudkan cita-citanya, tetapi akhirnya berbohong dan berkhianat. Lelaki yang telah menyorongnya ke dalam labirin pilihan yang amat sulit.

"Dia masih suamiku…" gumamnya. Sudah selayaknya ia menantikan kedatangannya dengan pintu-pintu yang terbuka sepenuhnya. Menyambut, menerima, dan memelukciumi segala kelebihan dan kekurangannya. Kekurangan akan dilunasi oleh kelebihan. Dari proses pelunasan akan ditemukan perbaikan, bahkan penggantian bagi yang lekang atau lapuk. Dari proses perbaikan dan penggantian itu akan ditemukan keputusan untuk penambahan demi semakin baik atau semakin lengkap. Itulah rumah yang harus ia bina.

"Aku harus membukakan pintu-pintu sepenuhnya untuknya…"  gumamnya. Ia merasa lelaki itu sedang dalam kesulitan sejak semula. Ia tak percaya lelaki itu begitu saja menyediakan dirinya sebagai pemaksa atau perampas. Ia pertama kali mengenal lelaki itu sebagai seorang yang sangat idealis, sama seperti dirinya. Ia sangat cocok dengannya. Jika dalam perkembangannya lelaki itu menjadi iblis, ia yakin dunia asinglah yang mencekokinya. Hingga lelaki itu diperbudak oleh dunia asing itu. Ia berkeputusan, lelaki itu perlu dibasuh, dimandikan, agar daki-daki dari dunia asing mengelupas dan rontok.

Ia beranjak, menuju kamar mandi. Memutar kran. Menghangatkan air bak. Ia siapkan handuk dan waslap lembut, serta pakaian ganti yang bersih, telah diseterika, dan harum. Ia hangatkan lagi nasi dan sayur yang telah dimasaknya sore tadi. Ia siapkan meja makan dengan keromantisan bunga. Ia siapkan ruang keluarga dengan pilihan siaran televisi acara keluarga sakinah. Ia siapkan kamar tidur dan ranjangnya dengan kelembutan wangi. Ia siapkan dirinya dalam kecantikan lahir-batin. Ia beranjak, membuka pintu depan sepenuhnya. Bersiap menyambut lelaki itu. Harapannya memawar mekar. Kunci ada padanya. Hakikat pintu dan rumah digenggamnya.

Namun lelaki itu tak pernah datang. Ia hilang secara misterius bersama direktur utama agroindustri yang orang asing itu. Pihak yang berwajib berusaha melacaknya. Lalu menginterogasi dan menangkapi para pemuda yang dicurigai.

*

Perempuan itu selalu saja merasa setiap hari, senja datang terlalu cepat. Dan senja terlalu cepat merambat ke malam. Dan kabut dari punggung-punggung bukit terlalu cepat bergulung-gulung mengepung. Lalu menyergap terlalu cepat.

Dengan jemari nyaris beku, ia tutup seluruh pintu. Tak ada lagi kehadiran yang dinantikannya. Kunci tetap ada padanya.

 

***