Senin, 03 Agustus 2009

Wabah Singkatan

Mungkin istilah "wabah" dalam uraian ini kurang tepat. Namun saya bermaksud menunjukkan bahwa persoalan yang akan saya kemukakan ini sudah menjadi "gejala negatif" yang melanda para pengguna bahasa Indonesia secara tertulis. Berdasarkan pengalaman saya mengajar di beberapa sekolah di beberapa kota dan pengamatan saya di setiap lingkungan tempat saya tinggal, sangat membuktikan menggejalanya wabah  tersebut. Persoalan tersebut berkaitan dengan penggunaan singkatan yang memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian untuk dicegah.

Beberapa contoh berikut ini saya kutip dari catatan pelajaran milik murid-murid saya:

(1)   Pengalaman pribadi yg mengesankan dpt disampaikan dng menggunakan alat peraga, mslnya gambar.

(2)   Penggunaan alat peraga itu utk menambah daya tarik.

(3)   Alatxx peraga berupa musik kaset & dibunyikan mengiringi penyampaian pengalaman pribadi dpt menambah daya tarik, shg pendengar dpt turut menghayati suasana pengalaman itu.

Rupanya munculnya singkatan-singkatan yang bercetak miring di atas bermula pada keinginan untuk hemat dan cepat dalam menulis, kemudian menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan. Dalam hal ini "hemat dan cepat" tersebut tidak mendukung berbahasa yang baik dan benar.

Seharusnya kata-kata tersebut ditulis lengkap yaitu pada (1) yang, dapat, dengan, misalnya; (2) untuk; (3) alat-alat, dan, dapat, sehingga, dapat. Mulai saat ini juga kita tidak perlu membiasakan menulis kata-kata yang seharusnya tidak disingkat dengan cara menyingkatnya. Sekali dua kali kita menyingkatnya, kita akan terbiasa dengan "wabah" tersebut dan menularkannya ke teman-teman kita.

Lebih-lebih pada era teknologi komunikasi penggunaan handphone dengan layanan SMS-nya, para remaja sangat gencar menularkan "wabah" singkatan itu. Seribu satu macam singkatan dapat diciptakan dalam waktu yang singkat. Misalnya saja: t4 (singkatan  tempat), 5f (singkatan maaf), 7an (singkatan tujuan), klo (singkatan kalau), seX (singkatan dari sekali), lom (singkatan belum), no'y (singkatan nomornya), dah (singkatan sudah). Tragisnya, singkatan-singkatan itu menyeruak begitu saja dari layar handphone dan menyerbu catatan-catatan pelajaran yang dibuat para siswa di sekolah. Bahkan pekerjaan siswa yang harus dinilai oleh guru pun tidak dapat terhindar dari singkatan-singkatan itu. Siapa lagi yang akan bertanggung jawab terhadap sikap menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia jika kondisi penggunaan bahasa Indonesia sudah sedemikian memprihatinkan?

(Ustadji Pantja Wibiarsa, guru Bahasa Indonesia

di SMP Negeri 23 Purworejo, Jawa Tengah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar